Jumat, 06 Mei 2022

STRUKTUR PERUBAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT INDUSTRI



Masyarakat yang ada di kawasan industri terdiri dari beberapa unsur elemen sosial yang terbentuk karena adanya perkembangan sebuah proses industrialisasi. Permasalahan yang muncul di dalam lingkungan masyarakat  industri antara lain: hubungan atau interaksi antara atasan pekerja buruh-masyarakat sekitar pabrik (Umanailo), adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan kehadiran bangunan-bangunan pabrik yang berada disekitar masyarakat baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomi hingga pengaruh perkembangan yang mengarah pada pemahaman atas sifat yang materialistik.
Imbas dari adanya proses industrialisasi tidak terlepas dari adanya permasalahan-permasalahan yang cenderung mengarah pada kecemburuan-kecemburuan sosial, baik yang bersifat materialistik maupun yang diakibatkan dari adanya hubungan atau interaksi yang tidak harmonis dari setiap unsur elemen yang ada di masyarakat industri dalam bentuk distorsi-distorsi sosial yang mana menurut penulis hal itu dinamakan sebagai konflik dalam masyarakat industri. Pembangunan dirancang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang menuntut adanya perubahan sosial budaya sebagai penghasil dan pendukungnya. Ranjabar menyatakan bahwa, “pembangunan nasional adalah suatu upaya melakukan transformasi atau perubahan masyarakat, yaitu transformasi dari budaya masyarakat agraris tradisional menuju budaya masyarakat industri modern dan masyarakat informasi yang tetap berkepribadian Indonesia” Ranjabar. Dahulu, masyarakat bermata pencaharian di sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga saja. Mereka hidup rukun, saling gotong royong, dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.

Sebagaimana yang diungkapkan Susilo, bahwa lingkungan sekarang ini masuk pada kondisi krisis dan rusak dimana-mana. Tidak hanya krisis lingkungan fisik, seperti krisis air, tanah, udara dan iklim namun juga krisis lingkungan biologis dan krisis lingkungan social dan itu diakibatkan perilaku manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup ekonomisnya yang tidak memperhatikan keseimbangan karena mengikuti nafsu manusia yang tidak pernah puas akhirnya lingkungan menjadi korban. Industrialisasi yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, justru pada kenyataanya industrialisasi membawa dampak negatif bagi masyarakat. Tidak hanya dampak sosial, ekonomi, budaya namun juga dampak terhadap lingkungan. Pembangunan industrialisasi menciptakan keterasingan pada masyarakat, karena kebanyakan masyarakat tidak mampu beradaptasi dengan iklim industrialisasi khususnya masyarakat yang memiliki pendidikan rendah dan juga life skill rendah mereka tidak mampu bergejolak dalam dunia industri .

Teori fungsionalisme struktural (structural functionalism) adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August ComteEmile Durkheim dan Herbert Spencer. Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. 
Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organisme kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. 

Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern. Para stuktural fungsional pada awalnya memusatkan pada fungsi dalam struktrur dan institusi dalam masyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu, para fungsionalis awal cenderung mencampur adukan motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensikonsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi, Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negatif pada bagian lain. 
Dalam penjelasan lebih lanjut, Merton mengemukakan mengenai 
fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungsi laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada.

Teori konflik merupakan perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini berdasarkan pada pemilikan sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Dalam pandangan Karl Marx kehidupan sosial merupakan: Masyarakat serbagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk pertetangan; Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berbagai pihak kepada kekuatan yang dominan; Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial; Negara dan hukum dlihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan pribadi; Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain.

Menurut teori Karl Marx pendekatan konflik terdiri dari 2 kelas yaitu: Masyarakat didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi (properti). Berdasarkan teorinya, Marx membedakan kelompok menjadi 2 yaitu :
Kelas Borjuis 
kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yaitu perusahaan sebagai modal dalam usaha

Kelas Proletar
kelompok yang tidak memiliki sarana dan alat produksi, hanya menjual tenaga untuk memenuhi kebutuhan


Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorang pun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.

Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.

Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. Pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Menurutnya, ada dasar baru bagi pembentukan kelas yaitu sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi dan sebagai dasar perbedaan kelas itu. Hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.

Jonathan Turner merumuskan teori konflik dalam tiga pandangannya yaitu: Tidak ada definisi yang jelas tentang teori konflik sehingga tidak dapat dibedakan karena pengunaan istilah; Teori konflik mengambang karena analisisnya tidak dijelaskan; Teori konflik sulit terlepas dari teori fungsional karena merupakan reaksi dari teori struktur fungsional.

Jonathan Turner menguraikan proses terjadinya konflik terdiri atas Sembilan tahap, yaitu:
  • Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
  • Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
  • Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
  • Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumbersumber yang ada.
  • Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
  • Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
  • Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
  • Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
  • Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.

Menurut teori Coser konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelopok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. 

Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi konflik: Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar; Konflik dengan kelopok lainnya dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi dengan kelopok lain; Konflik dapat menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolasi menjadi berperan secara aktif; Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi yaitu dengan mengeluarkan pendapat dengan cara tukar pikiran.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Asumsi yang mendasari symbolic interaction dan bahwa asumsi-asumsi ini memperlihatkan tiga tema besar:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
2. Pentingnya konsep mengenai diri
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna makna tidak bersifat intrinsik apa pun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orangorang untuk menciptakan makna. Tujuan dari interaksi menurut symbolic interaction, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama berkomunikasi akan menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin.

Menurut LaRossa dan Donald C.Reitzes, tema ini mendukut tiga asumsi Interaksi simbolik yang diambil dari karya Hebert Blumer. Asumsi-asumsinya adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka; Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia; Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. Asumsi ini menjelaskan prilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut.

Mereka mencari makna dengan mempelajari penjelasan psikologis dan sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika seorang SI melakukan kajian mengenai perilaku dari Roger Thomas, mereka melihatnya membuat makna yang sesuai dengan kekuatan sosial yang  membentuk dirinya. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi simbolik dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Mead menekankan dasar intersubjektifitas dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi.
Blumer menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinstik dari suatu benda. Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna”

Posisi ini mendukung pemikiran bahwa makna terdapat didalam orang bukan didalam benda. Dalam sudut pandang ini, makna dijelaskan dengan mengisolasi elemen-elemen psikologis didalam seorang individu yang menghasilkan makna. Interaksi simbolik mengambil pendekatan ketiga terhadap makna, melihat makna sebagai suatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas mausia ketika mereka berinteraksi Blumer menyatakan bahwa proses intepretif ini memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang memiliki makna. Blumer berargumen bahwa bagian dari proses ini berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas orang yang terlibat didalam komunikasi dengan dirinya sendiri. Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana mereka berada.

Penutup
Pada akhirnya dengan adanya perubahan struktur pada masyarakat mengakibatkan berubah pula berbagai dimensi sosial di dalam masyarakat tersebut, dari ketiga perspektif yang telah dipergunakan dalam menganalisis permasalahan perubahan social maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sederhana menyangkut perubahan yang telah terjadi, yakni;

Perspektif Structural fungsional;
Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan normanorma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan pengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat atau status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya.

Perspektif Konflik;
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang bebas, memiliki akal budi dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Tetapi dengan kehadirannya pula manusia ditindas oleh kekuasaan yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dimana penciptaan system yang kapitalistik di dalam organisasi industry itu justru menindas dan menjadikan manusia sebagai bahan untuk melakukan kompetitif terhadap manusia lainnya. kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinan kelas, benar-benar dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proporsisi berikut ini: "semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas, dan sebaliknya". Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan. Dalam masyarakat pertentangan tersebut tidak dapat dihilangkan. Pertentangan tersebut fungsional bagi perkembangan dan perubahan struktur sosial. Yang terpenting ialah bahwa pertentangan itu diatur melalui institusionalisasi daripada usaha-usaha untuk menekannya.

Perspektif Interaksi simbolik;
Tiap individu yang hidup akan memberikan tanggapan terhadap simbolsimbol yang adasSeperti penilaian individu menanggapi suatu rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik.Pemahaman individu terhadap symbol-simbol merupakan suatu hasil pembelajaran dalam berinteraksi di tengah masyarakat, dengan mengkomunikasikan symbol-simbol yang ada di sekitar mereka,baik secara verbal maupun perilaku non verbal. Pada akhirnya,proses kemampuan berkomunikasi, belajar, serta memahami suatu makna di balik symbol-simbol yang ada,menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia di bandingkan makhluk hidup lainnya (binatang). Interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam lansung antara stimulus response, tetapi di dasari pada pemahaman makna yang di berikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan symbol-simbol,interpretasi, pada akhirnya tiap andividu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-masing untuk mencapai kesepakatan bersama.


DAFTAR PUSTAKA
  • Antras, Pol. “De-Globalisation? Global Value Chains in The Post-Covid-19 Age.” Human Relations, vol. 3, no. 1, 2020.
  • Argenti, Gili. “Globalisasi Dan Dampaknya Bagi Negara Dunia Ketiga.” The Indonesian Journal Of Politics And Policy (IJPP), vol. 1, no. 1, 2019, doi:10.35706/ijpp.v1i1.1645.
  • Brinkley, Catherine. “The Smallworld of the Alternative Food Network.” Sustainability (Switzerland), vol. 10, no. 8, 2018, doi:10.3390/su10082921.
  • Coser, Lewis, and D. A. N. Ralf. “Strukturalisme Konflik : Pemahaman Akan Konflik Pada Masyarakat Industri.” Jurnal Sosiologi Dilema, vol. 24, no. 1, 2010.
  • Fleck, Christian. “Lewis A. Coser-A Stranger within More than One Gate.” Sociologicky Casopis, vol. 49, no. 6, 2013, doi:10.13060/00380288.2013.49.6.04.
  • Gumelar, Michael Sega. “Dekonstruksi Pemikiran Mistis Fritjof Capra Dalam Buku ‘ Titik Balik Peradaban .’” Jurnal Studi Kultural, vol. I, no. 1, 2016.
  • Holjevac, Marković, Raspor. “Customer Satisfaction Measurement In Hotel Industry: Content Analysis Study.” BMC Public Health, vol. 5, no. 1, 2017.
  • Setiadi, Hafid. “Worldview, Religion, and Urban Growth: A Geopolitical Perspective on Geography of Power and Conception of Space during Islamization in Java, Indonesia.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 11, no. 1, 2021, doi:10.18326/IJIMS.V11I1.81-113.
  • Suharso, Sukidin Pudjo. “Pemikiran Sosiologi Kontemporer.” Repository.Unej.Ac.Id, 2015.
  • Umanailo, M. Chairul Basrun, et al. “Public Relations Management Strategy through Management by Objective (MBO) of PT Kereta Api Operational Area 7 Madiun Indonesia Tulungagung Station.” Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.